Galeri 25 Tahun Tanahindie Kampung Buku di Makassar (foto: Ifa)
Makassar, Pedomanku.id:
Komunitas ini lahir dari semangat untuk menyebarkan gagasan, ide dan pemikiran kritis atas isu sosial yang sedang didiskusikan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Karena sering berkumpul, berdiskusi dan membaca buku, beberapa anak muda yang baru saja selesai kuliah waktu itu, memiliki kegelisahan untuk menulis. Sehingga lahirlah essay, puisi, artikel, berita dan opini. Kumpulan tulisan tersebut dulunya hanya di foto copy, digandakan secara sederhana sehingga bisa dibaca mahasiswa dan rekan rekan komunitas muda lainnya.
Semangat literasi yang disebarkan komunitas Tanahindie sejak tahun 1999 itu, kemudian menyebar hingga hari ini.
Tahun ini, Tanahindie berusia 25 tahun. Galeri berisi foto kegiatan, buku, cuplikan film dokumenter, dan beragam artikel dipajang untuk dipamerkan kepada komunitas muda.
Tanahindie yang dikenal dengan nama “Kampung buku” telah melahirkan ratusan karya kolaborasi, berupa buku, film dokumenter, pementasan dan pameran. Kampung buku berbasis komunitas ini, menyimpan beragam koleksi buku yang diantaranya belum tersedia di perpustakaan umum.
Koleksi buku yang tersedia di perpustakaan ini, diantaranya buku karya Pramoedya Ananta Toer, La Galigo, serta beberapa buku klasik lainnya.
Direktur Tanahindie Anwar Jimpe Rahman punya harapan sederhana untuk komunitas ini diusia 25 tahun.
“Harapannya teman teman tetap menghidupkan budaya literasi dengan berkarya. Bertemu banyak orang dan terkoneksi dengan berbagai jejaring sehingga banyak kegiatan yang bisa dilakukan,” kata pria yang akrab dipanggil Jimpe, saat ditemui di Tanahindie “Kampung Buku” Jl Abd Dg Sirua Makassar, Selasa, 5 November 2024.
Menurutnya menyebar budaya literasi kepada komunitas muda tidak bisa dilakukan secara instan. Hal itu harus terus dilakukan secara berkelanjutan.
“Budaya literasi adalah hal yang harus kita kerjakan terus menerus. Membaca, berkumpul, menyatukan ide, kemudian membuat karya. Hasil bacaan dan diskusi dari pengalaman komunitas melahirkan sebuah program,” kata dia.
Anggota komunitas ini, terdiri dari kelompok literasi anak muda dari beberapa kampus di Makassar atau kelompok seni dan budaya di luar kampus. Setiap ada kegiatan diskusi, pemutaran film, launching buku, mereka mengundang komunitas muda tersebut untuk datang dan bertukar gagasan.
“Dengan memperbanyak dialog dan referensi, akan memperkaya pengetahuan. Komunitas sudah mencapai seratus orang, ada yang aktif tetapi banyak yang bekerja. Untuk mengikat komunitas ini dengan melakukan beragam kegiatan, tutur Jimpe.
Sampai hari ini, lahir beberapa penelitian dan penerbitan dari komunitas ini diantaranya, Makassar Nol Kilometer (Ininnawa, 2005), Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota (Ininnawa, 2012), dan Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Chambers Celebes, 2013), Makassar Nol Kilometer DotCom: Jurnalisme Plat Kuning (Tanahindie Press, 2014), dan Halaman Rumah / Yard (Tanahindie Press, 2017), Kota Diperam dalam Lontang (Oktober, 2018), dan beberapa buku lainnya, serta film dokumenter sejarah Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar (Tanahindie – Kementerian Pendidikan & Kebudayaan RI – Rock in Celebes).
Budaya literasi dengan anak muda itu terus dibangun, dengan menawarkan beragam kegiatan, diskusi, perpustakaan buku klasik dan arsip.
Beberapa pameran dan kerja kolaborasi berkaitan seni dan wacana kebudayaan telah dilaksanakan seperti True Color (pameran lukisan perca & drawing, 2007), Bom Benang (2012-2017), Panggung dalam Bingkai (pameran fotografi, 2014), dan Lembaran Halaman yang Hilang (pameran fotografi, 2014), Jakarta Biennale (2015), Makassar Biennale (2015, 2017, 2019), Halaman Rumah (Januari 2017-Desember 2018), dan Soundsphere (April 2018-sekarang). Pada 2018, Tanahindie memamerkan karya di Pekan Seni Media 2018 di Palu, Sulawesi Tengah.
Salah satu anggotanya bernama Tami. Dia telah bergabung dengan komunitas ini pada 2010. Saat itu dia masih kuliah pada salah satu universitas negeri di Makassar.
Tami mengakui banyak belajar melalui komunitas ini, dengan ikut kelas menulis, workshop lokakarya, diskusi buku, dan kelas bedah film. Banyak diskusi dan dialog yang mengasah kesadaran kritis, dan memperdalam wawasan dan pengetahuannya.
Dia kemudian menulis artikel berjudul ““Hidup Bahagia Ala Pak Jenggot” yang bercerita tentang tukang becak yang sering mangkal depan pintu gerbang kampusnya. Dia juga pernah menulis tentang gerakan perempuan di Pasar Terong Makassar. Tulisan itu kemudian diterbitkan dalam buku “Jurnalisme Plat Kuning” yang diterbitkan komunitas ini.
“Saya lebih banyak belajar menulis di komunitas ini daripada di Kampus. Disini, saya terasah bisa melihat fenomena sosial. Jaringan komunitasnya banyak, baik dari komunitas penulis, pemusik, dan sebagainya. Kepekaan itu terbangun disini, membentuk empati dengan mempertajam kepekaan terhadap keadaan sosial,” jelas Tami saat ditemua di Kampung Buku Makassar, 5 November 2024.
Tami yang kini menjadi dosen pada salah satu universitas di Makassar, tetap termotivasi untuk terus berada dalam komunitas ini.
“Ilmu yang saya terima dari Tanahindie ini, tidak bisa didapat di kampus dan buku cetak. Ekosistem bersama Tanahindie terus saya jaga supaya tetap kritis dan bebas berfikir,” tutur Tami.
Kampung Buku ini, menurutnya, tidak bisa hilang karena menyimpan banyak buku klasik dan beragam genre yang menawarkan banyak perspektif.
Dia berharap Tanahindie Kampung Buku terus bergeliat menyebar budaya literasi pada mahasiswa dan komunitas muda di Makassar. (Ifa)