Jakarta, Pedomanku.id: Rancangan Undang Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) dinilai akan mengancam iklim demokrasi dan kebebasan Pers di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil mencatat beberapa hal kontroversial dalam draft RUU Penyiaran tersebut, sehingga harus ditolak. Salah satunya adalah substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik.
Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU penyiaran dinilai tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip Good Governance. Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik, untuk memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.
Selain itu, koalisi juga menilai konten jurnalistik investigatif akan menjadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup Pluit (whistleblower). Sebab banyak kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan di pemerintahan, bisa terungkap karena datanya berasal dari informasi publik, yang diinvestigasi oleh jurnalis.
Meskipun ada beberapa kanal whistleblower, tetapi masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik, yang dilakukan oleh jurnalis, seperti Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan IndonesiaLeaks, yang juga menjadi bentuk pengawasan terhadap kebijakan maupun pejabat publik.
Selain itu, pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi.
“Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan, atau penanganan perkara korupsi” kata Tibiko Zabar dari Indonesia Corruption Watch dalam siaran pers Kamis, 16 Mei 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai data dan informasi mendalam, yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan korupsi maupun pelanggaran lainnya.
Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif seringkali bisa membongkar aspek yang tidak terpantau, sehingga menjadi trigger bagi penegak hukum dalam menuntaskan perkara.
RUU Penyiaran dinilai membungkam kemerdekaan Pers dan independensi media.
“Adanya larangan penayangan laporan jurnalistik investigatif, maka Pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan” kata Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana.
Menurutnya, ketentuan dalam RUU Penyiaran tersebut, merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Sebab jurnalisme investigasi menjadi salah satu alat bagi media independen untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” jelasnya.
Untuk itu, koalisi mendesak DPR dan Presiden untuk menghentikan pembahasan RUU Penyiaran dan menghapus pasal pasal yang berpotensi membatasi kebebasan Pers, bertentangan dengan nilai demokrasi, serta upaya pemberantasan korupsi.
Koalisi juga mendesak agar pembahasan RUU Penyiaran tersebut, melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat yang terdampak lainnya. Selain itu pembahasan harus menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi terkait Pers.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari Indonesia Corruption Watch, LBH Pers, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHi), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Greenpeace Indonesia, AJI Indonesia, Watchdoc, AJI Jakarta. (Ifa)