Bandung, Pedomanku.id:
Konsumsi tembakau di Indonesia, dinilai masih sangat tinggi yang berdampak pada meningkatnya jumlah pasien penyakit tidak menular (PTM) hingga 70 persen dan menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak.
Selain itu, Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan sejak 2014-2019 terjadi peningkatan prevalensi perokok pelajar usia 13-15 tahun dari 18,3 persen menjadi 19,2 persen. Data perokok elektronik juga mencapai 11,5 persen pada remaja usia 13-15 tahun. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2023, persentase merokok pada penduduk usia kurang 15 tahun di Indonesia, sebesar 28,62 persen.
“Penyebab tingginya angka perokok anak di Indonesia, karena lemahnya penerapan aturan iklan, promosi, dan sponsorship yang membidik anak,” kata Director Tobacco Control Vital Strategies Singapore Offices, Dr. Tara Singh Bam melalui siaran pers, Rabu, 29 Mei 2024.
Tara menjelaskan penting membangun integritas pemerintah daerah melalui kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTT) dan kontrol pembelian rokok konvensional, juga rokok elektronik. Iapun mendorong pemerintah supaya berani menolak segala intervensi industri, salah satunya rencana perhelatan World Tobacco Asia.
“Perlu menjamin bahwa pemerintah daerah tidak terpengaruh dengan upaya upaya intervensi dari industri rokok,” tutur Tara.
Sementara itu, National Professional Officer Policy and Legislation WHO Indonesia, Dina Kanoa SH, LLM menyatakan tingginya konsumsi tembakau di Indonesia, karena adanya campur tangan industri tembakau. Indeks gangguan industri tembakau atau The Global Tobacco Industry Interferensi Index (TII Indeks) tahun 2023, menunjukkan Indonesia menjadi negara keempat yang paling banyak menerima intervensi industri tembakau. Datanya Indonesia peringkat 84 setelah Jepang peringkat 88, Swiss peringkat 95 serta Republik Dominika peringkat 100.
Intervensi industri tembakau ini, menjadi salah satu faktor penghambat upaya pengaturan yang ketat terhadap industri tembakau.
Dina memaparkan laporan TII Indeks tersebut, dapat menjadi referensi penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan sejauh mana campur tangan industri tembakau mempengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan untuk melindungi kesehatan masyarakat, khususnya anak anak dan remaja.
“Meskipun tren global prevalensi konsumsi tembakau menurun, tetapi di Indonesia belum. Indonesia masih menjadi 1 dari 6 negara yang menggunakan tembakau dan anak juga remaja menjadi sasaran produk ini,” kata Dina.
Untuk itu, pengesahan Undang Undang Kesehatan Nomor 17 bisa menjadi landasan hukum, yang menurunkan intervensi industri rokok. Melalui aturan turunan dalam RPP kesehatan, diharapkan ada aturan tegas melarang iklan, promosi dan sponsor dari rokok.
“Pemerintah perlu melarang produk tembakau di semua media penyiaran,” kata Dina.
Regional Director for Ukraine and Eurasia, and Country Director for Indonesia Campaign for Tobacco Free Kids (CTFK) Joshua Abrams menyatakan kampanye melawan rokok, penting untuk terus dilakukan, karena anak rentan menjadi sasaran industri.
Data tersebut disajikan dalam Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-9 di Bandung, yang menyoroti konsumsi rokok yang terus meningkat dan mempengaruhi lingkungan hidup anak.
Ketua panitia ICTOH ke-9 2024, dr. Sumarjati Arjoso, SKM menyatakan ICTOH adalah kegiatan konferensi untuk menjaga energi dan konsistensi para pegiat dan akademisi kesehatan.
“Konferensi ini digelar salah satunya untuk menjaga anak Indonesia, dari bahaya rokok” kata Sumarjati.
Saat ini, kata Sumarjati, terdapat tiga target prioritas kegiatan dalam pengendalian tembakau, yaitu peningkatan jumlah kabupaten/kota yang menerapkan kawasan tanpa rokok. Juga meningkatkan kab/kota yang memiliki kurang dari 40 persen fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) layanan upaya berhenti merokok, serta meningkatkan kab/kota dengan 40 persen fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) layanan upaya berhenti merokok, serta meningkatkan pengawasan jumlah label dan iklan produk tembakau. (ifa)