Poso,Pedomanku.id:
Keindahan, keunikan, dan keanekaragaman pakaian tradisional merupakan aset bangsa yang patut dilestarikan. Disisi lain, jenis pakaian ini, merupakan warisan budaya nenek moyang. Karena itu, di era serba modern saat ini, menjadi tantangan tersendiri untuk melestarikannya.
Pakaian punya peran penting dalam kehidupan manusia. Perannya antara lain, untuk menutup aurat, sekaligus menentukan citra seseorang. Juga, merupakan cermin dari identitas, status, hierarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup.
Pakaian dari kulit kayu, salah satunya. Pakaian ini, adalah sejenis lembaran kertas yang terbuat dari kulit pohon beringin dan kulit kayu ivo. Diproses secara tradisional, hingga menghasilkan pakaian yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari, hingga pesta. Penggunaannya, pada waktu upacara adat bagi masyarakat Kulawi, Pandere, lembah Palu dan sekitarnya, hingga masyarakat Lore Kabupaten Poso. Usaha masyarakat untuk membuat pakaian kulit kayu khususnya di Sulawesi Tengah, sudah sejak zaman Neolitikum, hingga sekarang.
Jenis pakaian ini menjadi menarik, setelah Novieta Taurisia mencoba melestarikan budaya tanah Poso, di Silawesi Tengah. Dia menggandeng perajin kain dari kulit kayu, sebagai bahan dasar pembuatan pakaian tradisional.
Sekalipun, generasi muda tak tertarik menekuni kerajinan ini, lantaran, harga kain kulit kayu murah. Hanya Rp100.000 hingga Rp150.000 per lembar. Sedangkan, jumlah perajinnya semakin berkurang. Pasalnya, banyak yang sudah berusia tua.
Kerjasama ini dimulai sejak 2013. Awalnya, Novieta hanya bertemu dengan dua orang perajin. Dari situ, dia terus membangun kelompok perajin yang berada di tiga desa, yakni Lengkeka, Tuare, dan Bewa di Lembah Bada. Sampai sekarang ada 12 perajin yang bergabung.
Tak berhenti hanya merangkul perajin, Novi juga membuat sejumlah produk dari kain kulit kayu, sehingga nilainya bertambah. Produknya antara lain, tas, dompet, dan ragam aksesori. Setelah melewati masa percobaan selama tiga tahun, untuk menciptakan barang dengan kualitas baik, pada Juli 2016 lalu, dia resmi meluncurkan produknya dengan merek Cinta Bumi Artisan. Kini, ada 40-60 jenis barang yang dia pasarkan.
Setahun, Novieta hanya meluncurkan produk baru sebanyak dua kali. Sebab, ia harus menyesuaikan hasil produksi para perajin. Membuat kain bukanlah mata pencaharian utama, jadi produksinya terbatas.
Tidak hanya sekadar menampung kain, anak pertama dari tiga bersaudara ini juga membeli hasil produksi perajin dengan harga diatas rata-rata yaitu Rp 125.000 sampai Rp 200.000 per lembar. Namun, kualitas kain harus sesuai permintaan. Sekadar info, untuk menenun selembar kain berukuran 2×1 m2 butuh waktu sekitar dua minggu.
Proses produksi dari bahan setengah jadi menjadi barang siap pakai pun masih dilakukan secara tradisional. Bahkan, pewarnaan menggunakan bahan baku alam yang berasal dari berbagai jenis tanaman, misalnya indigo, turi, mengkudu, dan daun mangga. Dia dibantu oleh tiga karyawan di workshop-nya yang ada di Bali.
Harga produknya bervariasi, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 900.000 per item. Selama ini, konsumennya banyak datang dari manca negara. Sebut saja, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman dan lainnya.
Ke depan, Novi berharap, dapat terus melestarikan dan menarik anak muda untuk menjadi perajin kain kulit kayu. Lainnya, dia juga ingin membangun koperasi dan galeri untuk mereka agar dapat memamerkan produknya, serta mendapatkan suntikan modal. Supaya produksi berkesinambungan dan tidak punah, dia juga menggalakkan penanaman kembali kayu yang selama menjadi bahan baku kain tradisional ini.
Kulit kayu dari pohon dikupas dengan hati-hati dengan mengambil bagian seratnya, direndam dalam air, kemudian dipukul dengan kayu atau batu untuk di jadikan sepotong kain yang akan di gunakan sebagai pakaian. Lalu sejalan dengan bertambahnya pengetahuan, mereka menemukan bahwa pakaian dari kulit kayu tersebut dapat diwarnai dengan cara dilukis atau dicap dengan sepotong bambu atau kayu yang diukir.
Praktek budaya yang berlangsung sedemikian lama tersebut memposisikan Sulawesi Tengah sebagai salah satu penghasil kerajinan kulit kayu yang utama selain Papua, dan Kalimantan. Tradisi pembuatan pakaian dari kulit kayu di masyarakat Sulawesi Tengah lebih familiar dengan tradisi fuya. (konol-bs)